Selasa, 23 Oktober 2012

Good Corporate Governance (GCG) , Corporate Social Responsibility (CSR) , International Financial Reporting Standards (IFRS)

 Good Corporate Governance (GCG)
1. Good Corporate Governance atau sering disingkat GCG adalah suatu praktik pengelolaan perusahaan secara amanah dan prudensial dengan mempertimbangkan keseimbangan pemenuhan kepentingan seluruh stakeholders. Dengan implementasi GCG / penerapan GCG, maka pengelolaan sumberdaya perusahaan diharapkan menjadi efisien, efektif, ekonomis dan produktif dengan selalu berorientasi pada tujuan perusahaan dan memperhatikan stakeholders approach.

IMPLEMENTASI GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERGANTUNG PADA BUDAYA INTEGRITAS PERUSAHAAN
Saat perusahaan-perusahaan di Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997 – 1998,  IMF ( International Monetary Fund) mendorong pemerintah Indonesia untuk menjalankan kebijakan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Sejak itu, dimulai dengan peraturan Bursa Efek Jakarta yang mensyaratkan setiap emiten untuk mengangkat komisaris independen dan membentuk komite audit. Dan juga Bank Indonesia yang mulai mendorong pelaksanaan good governance di sektor perbankan di Indonesia.
Tahun 2000, pemerintah Indonesia melalui  Surat Keputusan Menko Ekonomi, Keuangan Dan Industri Nomor: Kep-31/M.EKUIN/06/2000 membentuk KNKCG atau dikenal dengan  Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance. Selanjutnya, KNKCG ini pada tahun 2004 dirubah namanya melalui Surat Keputusan Menko Perekonomian RI No. Kep-49/M.Ekon/II/Tahun 2004 menjadi KNKG atau Komite Nasional Kebijakan Governance. Tahun 2006 KNKG menyempurnakan pedoman corporate governance dari yang sebelumnya. Saat ini semua perusahaan publik wajib mematuhi pedoman tata kelola perusahaan (code of corporate governance) dari KNKG. Untuk perusahaan non publik penerapan code of corporate governance tidak diwajibkan oleh UUPT, tapi bila dijalankan berpotensi meningkatkan reputasi dan kredibilitas bisnis perusahaan di mata stakeholder secara keseluruhan.
Code of corporate governance dari KNKG merupakan dasar buat perusahaan-perusahaan di Indonesia, untuk mengembangkan usahanya secara profesional dan berkompetisi secara terbuka dan sehat dengan budaya GCG. Budaya GCG hanya dapat dijalankan bila setiap kepentingan di dalam perusahaan sudah ikhlas untuk bekerja dan berkehidupan dalam budaya integritas di semua level, peran dan fungsi organisasi.
Implementasi code of corporate governance berpotensi membuat perusahaan dipercaya oleh para stakeholder. Bila para stakeholder sudah mempercayai perusahaan dengan sepenuh hati, maka dengan modal kepercayaan dari stakeholder tersebut, perusahaan memiliki daya saing yang tinggi, untuk dapat berkompetisi dalam setiap situasi di lingkungan bisnis yang dinamis.
Perusahaan yang berbudaya integritas pasti patuh untuk menjalankan  kaidah-kaidah tata kelola perusahaan yang baik. Lalu, menjalankan core values atau nilai inti perusahaan di seluruh level dan jajaran organisasi dengan sempurna. Perusahaan yang berbudaya integritas pasti melengkapi tata kelola perusahaan dengan pedoman tata kelola perusahaan (code of corporate governance), pedoman perilaku (code of conduct), standar prosedur operasional perusahaan, pedoman penanganan benturan kepentingan (conflict of interest), panduan etika bisnis, dan pedoman-pedoman lainnya untuk tujuan menjaga budaya integritas dalam implementasi Good Corporate Governance yang tegas dan jelas.
Implementasi GCG sangat tergantung dari kemampuan perusahaan untuk menginternalisasikan prinsip-prinsip, seperti: transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, kewajaran dan kesetaraan, ke dalam kompetensi produktif dan kompetensi adaptif karyawan dan pimpinan di perusahaan. Fakta selalu menunjukkan bahwa implementasi GCG masih dalam taraf kompetensi normatif. Artinya, secara normatif setiap pimpinan dan karyawan di perusahaan sangat menguasai Good Corporate Governance, tapi belum mampu menjadikannya sebagai kekuatan untuk meningkatkan produktifitas dan adaptasi terhadap perubahan di lingkungan bisnis yang sangat kompetitif ini.
Implementasi GCG tidak hanya merupakan kesadaran kolektif untuk menciptakan tata kelola formalitas oleh dorongan dari kewajiban. Tapi, seharusnya menjadi kesadaran dalam budaya integritas di semua level dan jajaran organisasi. Lalu, secara berkelanjutan dan konsisten melaksanakan GCG dengan komitmen dari visi, misi dan core values yang sesuai dengan semangat budaya GCG.

Sumber : www.google.com

 
2. Corporate Social Responsibility (CSR)
Pengertian Corporate Social Responsibility (CSR)
Menurut Kotler dan Nancy (2005) Corporate Social Responsibility (CSR) didefinisikan sebagai komitmen perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan komunitas melalui praktik bisnis yang baik dan mengkontribusikan sebagian sumber daya perusahaan
Menurut CSR Forum (Wibisono, 2007) Corporate Social Responsibility (CSR) didefinisikan sebagai bisnis yang dilakukan secara transparan dan terbuka serta berdasarkan pada nilai-nilai moral dan menjunjung tinggi rasa hormat kepada karyawan, komunitas dan lingkungan.
Corporate Social Responsibilit(CSR)adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggungjawab mereka terhadap sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada. COntoh bentuk tanggungjawab itu bermacam-macam, mulai dari melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungan, pemberian beasiswa untuk anak tidak mampu, pemberian dana untuk pemeliharaan fasilitas umum, sumbangan untuk desa/fasilitas masyarakat yang bersifat sosial dan berguna untuk masyarakat banyak, khususnya masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut berada. Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan fenomena strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder-nya. CSR timbul sejak era dimana kesadaran akan sustainability perusahaan jangka panjang adalah lebih penting daripada sekedar profitability.
Membangun CSR Berbasis Masyarakat
Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan program yang dilakukan oleh sebuah perusahaan sebagai wujud tanggungjawab dan kepedulian sosial. Namun demikian, perlu disadari bahwa CSR bukan semata program sosial yang menjadikan perusahaan sebagai sebuah “lembaga amal” ataupun “bagian dari departemen sosial milik pemerintah”.

Mau tidak mau haruslah diakui bahwa CSR memiliki dua sisi mata uang. Di satu sisi sebagai program kepedulian sosial, sementara di sisi lain merupakan bagian dari perusahaan yang bertujuan mencari keuntungan.

Tantangan yang harus dijawab terkait hal tersebut adalah bagaimana membangun konsep CSR yang benar-benar efektif dalam menjalankan fungsi sosial, namun tidak melupakan tujuan perusahaan untuk mencari keuntungan. Selain itu, bagaimana membangun konsep CSR yang memiliki dampak positif terhadap peningkatan keuntungan perusahaan, namun bukan berarti semata mencari keuntungan melalui “kemasan” tanggungjawab dan kepedulian sosial.

Perlu diketahui, tidak semua perusahaan memiliki program CSR. Bahkan tidak semua perusahaan memiliki divisi Public Relation (PR) atau divisi lain yang biasanya diberikan tugas khusus untuk mengurusi permasalahan CSR. Kalaupun ada perusahaan yang mengagendakan CSR, itu hanya dirangkap oleh divisi lain yang memiliki kedekatan fungsi dalam mencapai tujuan perusahaan untuk mendongkrak penjualan dan meningkatkan keuntungan perusahaan, misalnya divisi pemasaran (marketing).

Alasan bagi perusahaan yang mengambil langkah ini, selain untuk efektifitas anggaran, perusahaan yang seperti ini biasanya memiliki orientasi yang terfokus kepada penjualan dan memperoleh keuntungan semata. Selain itu, ada juga diantara perusahaan tersebut yang hanya membuat program CSR sebagai langkah taktis untuk mendongkrak penjualan dan meningkatkan keuntungan perusahaan.

Bagi perusahaan seperti ini, PR atau CSR dianggap sebagai divisi dan program yang sekadar “menghabiskan uang perusahaan” saja. Selain lemah secara tanggungjawab dan kepedulian sosial, mereka belum menyadari arti penting program jangka panjang untuk keberlangsungan dan peningkatan keuntungan perusahaan di masa yang akan datang. Dengan kata lain, mereka belum menyadari CSR sebagai sebuah program investasi jangka panjang perusahaan.

Sementara itu terkait strategi sebuah perusahaan yang melakukan program CSR semata untuk mendongkrak penjualan dan meningkatkan keuntungan, langkah seperti ini memang ada benarnya juga. Tidak sedikit program-program CSR yang dilakukan perusahaan memiliki dampak secara langsung karena memang sengaja diarahkan untuk mendongkrak penjualan dan peningkatan keuntungan perusahaan.

Program CSR  “dadakan” ini biasanya dilakukan dengan disertai publikasi yang diarahkan kepada menarik simpati publik sehingga terdorong untuk membeli produk. Selain itu, ada juga perusahaan yang menerapkan strategi keikutsertaan publik dalam program CSR dengan membeli produk tertentu.

Namun demikian, langkah “instan” mengagendakan program CSR untuk meraup keuntungan seperti ini tidak akan memberikan dampak positif yang bertahan lama. Selain anggaran yang akan terus membengkak, pogram CSR yang memang tidak direncanakan untuk jangka panjang akan menjadikan menurunnya kualitas kinerja divisi yang dibebani pekerjaan yang bukan merupakan tugas utamanya.

Persoalan lain yang akan muncul ketika perusahaan yang menjadi kompetitor menggunakan strategi tandingan yang hampir sama, sama, bahkan dengan teknik yang lebih mutakhir. Penghancuran karakater perusahaan di mata masyarakat dan para konsumen tentunya akan sangat berpengaruh kepada penjualan dan penghasilan perusahaan.

Hal yang juga perlu diingat yaitu kondisi masyarakat dan konsumen saat ini yang sudah cerdas. Mereka dapat membedakan mana perusahaan yang benar-benar melakukan program CSR dan mana perusahaan yang melakukan program CSR hanya untuk mendongkrak penjualan dan meningkatkan keuntungan perusahaan semata.

Tingkat kecerdasan masyarakat dan konsumen ini akan menentukan pilihan mereka untuk membeli sebuah produk yang dipasarkan oleh perusahaan. Selain itu, bagian ini juga yang biasanya dijadikan landasan strategi bagi pihak perusahaan kompetitor untuk menjatuhkan perusahaan saingannya.

Untuk membangun program CSR yang benar-benar berguna bagi masyarakat dan memiliki dampak positif terhadap penjualan dan peningkatan keuntungan perusahaan, dibutuhkan pemberian program yang memiliki manfaat jangka panjang yang sekaligus dikelola dengan melibatkan masyarakat dan stake holder terkait lain secara berkesinambungan.

Program CSR bermanfaat jangka panjang yang dimaksud yaitu program-program yang memiliki dampak positif untuk kemajuan masyarakat dan relasi antara masyarakat dengan perusahaan dalam jangka waktu yang panjang, bahkan kalau memungkinkan dapat menciptaan sebuah hubungan psikologis seumur hidup.

Program ini dikelola dengan mengikutsertakan masyarakat dan mengedepankan kemandirian masyarakat untuk mengurusi keberlanjutan program tersebut. Peran yang diambil perusahaan, dalam hal ini divisi yang membidangi program CSR, sebaiknya berlaku sebagai “pendamping” masyarakat, yang menjembatani komunikasi antara perusahaan dengan masyarakat dan sebaliknya.

Namun demikian, yang perlu diperhatikan dalam proses pengelolaan program CSR yang berbasis masyarakat ini adalah jangan sampai mencampuradukkan antara program CSR dengan program lain dari perusahaan untuk mendongkrak penjualan dan meningkatkan keuntungan. “Internalisasi” produk perusahaan terhadap masyarakat atau komunitas yang menjadi target program CSR sebaiknya dibiarkan berlangsung secara alami.

Dengan kata lain, akan lebih bijak dan akan sangat menguntungkan bagi perusahaan ketika masyarakat atau komunitas yag menjadi target program CSR nantinya akan menjadi PR bagi produk-produk maupun kebijakan yang dikeluarkan oleh perusahaan. Dengan demikian, perusahaan akan sangat diuntungkan dengan memiliki “tenaga” dan “sumber daya” yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat yang nota bene merupakan bagian dari target pemasaran  produk-produk perusahaan.

Ujang Ruhliana adalah Alumni Beswan Djarum, Wakil Ketua Beswan Djarum Universitas Lampung periode 2002 – 2003, Ketua Beswan Djarum Universitas Lampung periode 2003 – 2004.

Sumber : www.google.com
 
International Financial Reporting Standards (IFRS)
  
3. IFRS Sebagi Standar Tunggal Pelaporan Keuangan
International Financial Reporting Standards (IFRS) adalah standar, interpretasi, dan kerangka yang diadopsi oleh badan penyusun standar akuntansi internasional yang dikenal dengan International Accounting Standards Board (IASB).
Beberapa standar yang membentuk IFRS dulunya dikenal dengan nama International Accounting Standards (IAS). IAS diterbitkan oleh suatu badan yang dikenal dengan International Accounting Standards Committee (IASC) pada kurun waktu antara tahun 1973-2001. Hingga Maret 2002, IASC telah menerbitkan 41 IAS dan 34 SIC (Standing Interpretations Committee) Interpretations. Beberapa di antaranya telah diubah atau diganti oleh IASB. Standar yang masih tersisa dipandang sebagai payung bagi IFRS.
Sepanjang tahun 1999-2000, IASC melakukan restrukturisasi (dengan mengubah konstitusi, strategi, struktur dan nama). IASC berkeinginan untuk menjadi badan akuntansi yang lebih independen dan profesional. Pada Maret 2001, IASC Trustees mengaktifkan Part B dari IASC Constitution yang baru dan menetapkan non-profit Delaware corporation yang diberi nama International Accounting Standards Committee Foundation untuk mengawasi IASB. Pada April 2001, IASB yang baru mengambil alih tanggung jawab IASC dalam menetapkan International Accounting Standards.
IASB berkeinginan untuk membentuk satu standar pelaporan keuangan global yang berkualitas. Selama pertemuan pertamanya, badan yang baru tersebut mengadopsi IAS dan SIC (Standing Interpretation Committee) yang ada. IASB terus mengembangkan standar yang disebut dengan International Financial Reporting Standards (IFRS). Jadi IFRS adalah termasuk standar dan interpretasi yang disetujui oleh IASB serta IAS dan SIC Interpretations yang diterbitkan berdasarkan konstitusi sebelumnya.
Prinsip-prinsip yang mendasari IFRS dijelaskan dalam Framework for the Preparation and Presentation of Financial Statements (Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan)
IFRS merupakan kesepakatan global standar akuntansi yang didukung lebih dari 100 negara dan badan-badan internasional di dunia. Globalisasi aktivitas ekonomi mengharuskan informasi keuangan berkualitas tinggi dan dapat diperbandingkan secara internasional.
Efektif sejak 1 Januari 2005, perusahaan-perusahaan yang terdaftar di 15 negara Uni Eropa diharuskan untuk menyajikan laporan keuangan konsolidasi sesuai dengan IAS (sejak tahun 2003, standar-standar yang baru disebut sebagai IFRS). Hal ini merupakan perubahan terbesar di Eropa dalam beberapa dekade terakhir ini yang mempengaruhi lebih dari 7.000 perusahaan di Uni Eropa yang akan menyusun laporan keuangan konsolidasi sesuai dengan IAS. Dibandingkan pada tahun 2001, hanya 275 perusahaan di Uni Eropa yang menggunakan IAS dalam penyusunan laporan keuangannya dan 300 perusahaan menggunakan US GAAP.
Sejak tahun 1994, profesi akuntansi di Indonesia, melalui Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), telah berkomitmen untuk melakukan harmonisasi terhadap IFRS. Sejak itu, sebagian besar PSAK yang diterbitkan didasarkan pada IFRS. Jadi, pada dasarnya IFRS telah mempengaruhi dunia usaha di Indonesia sejak 1994.
Pada akhir tahun 2008, IAI telah mencanangkan konvergensi PSAK ke IFRS secara penuh pada tahun 2012. Selain itu, pada tahun 2009, negara-negara anggota G-20 telah membuat kesepakatan di Pittsburg, Amerika Serikat yang di antaranya menyatakan bahwa untuk mengurangi kesenjangan peraturan di antara negara-negara anggota G-20, maka otoritas yang mengawasi peraturan akuntansi internasional harus meningkatkan standar global pada Juni 2011. Indonesia, sebagai salah satu negara anggota G-20 tunduk pada kesepakatan global untuk melakukan konvergensi IFRS.
Oleh karena itu, mulai tahun 2009, DSAK-IAI mencanangkan proses konvergensi sampai tahun 2011 dengan target pada tahun 2012, seluruh PSAK tidak memiliki beda material dengan IFRS yang berlaku per 1 Januari 2009. Dan setelah tahun 2012, DSAK-IAI akan terus memperbaharui PSAK jika ada perubahan pada IFRS yang terkait.
Principles Based
IFRS merupakan seperangkat standar yang “berdasarkan prinsip” (principles based) yang menetapkan aturan umum dan menentukan peraturan khusus. Sedangkan US GAAP merupakan standar yang “berdasarkan aturan” (rule based atau regulation based). IFRS menitikberatkan pada prinsip yang dijelaskan dalam kerangka konseptual IASB, bukan pada aturan yang terinci. Berbeda dengan US GAAP, yang pada umumnya memuat persyaratan-persyaratan lebih khusus dan pedoman impelementasi yang rinci.
Pendekatan IASB yang memfokuskan pada prinsip tersebut mengharuskan perusahaan dan auditor untuk menggunakan pertimbangan profesionalnya untuk kepentingan publik. Perusahaan harus menyajikan laporan keuangan yang menyajikan dengan sebenarnya (faithful representation) seluruh transaksi yang terjadi. Auditor juga harus resisten terhadap tekanan klien.
Pelaporan keuangan yang didasarkan pada US GAAP, sebagian besar juga didasarkan pada prinsip, namun disertai dengan aturan dan regulasi yang rinci. Oleh karena itu, US GAAP disebut sebagai standar yang “berdasarkan aturan” (rule based). US GAAP menetapkan persyaratan-persyaratan yang lebih khusus dan memberikan pedoman implementasi yang lebih rinci. Pedoman rinci ini menguntungkan perusahaan, auditor, dan regulator pasar modal. Bagi perusahaan, pedoman rinci akan mengurangi ketidakpastian dalam memperlakukan suatu transaksi. Bagi auditor, persyaratan-persyaratan khusus akan membatasi perselisihan dengan klien dan merupakan pembelaan jika terjadi proses pengadilan. Regulator menggunakan pedoman rinci sebagai alat untuk menegakkan peraturan.
Karena fokus pada prinsip ini, maka pihak-pihak yang meyakini keunggulan US GAAP berpendapat bahwa penerapan IFRS memerlukan terlalu banyak interpretasi. Sebaliknya, pendukung IFRS berpendapat bahwa banyaknya pedoman yang dikeluarkan FASB juga tidak mampu mencegah Enron dalam menghindari aturan akuntansi. Enron adalah perusahaan yang mendirikan entitas bertujuan khusus (special purpose entity) yang tidak dikonsolidasikan dalam laporan keuangan (Enron menggunakan US GAAP). Kegagalan untuk mengkonsolidasikan entitas tersebut diyakini sebagai isu terpenting dalam penyajian kembali laporan keuangan Enron.
Standar akuntansi yang berkualitas sangat diperlukan untuk membantu pelaku ekonomi dalam mengalokasikan sumber dayanya. Alokasi sumber daya sangat tergantung pada informasi keuangan yang mempunyai kredibilitas tinggi dan dapat dipahami. Standar akuntansi harus mampu menyakinkan investor bahwa laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan menunjukkan gambaran kinerja dan posisi perusahaan yang sebenarnya. Skandal Enron mengindikasikan perlunya reformasi sistem pelaporan keuangan secara global.
Adopsi IAS atau IFRS tersebut tentunya akan berdampak pada pelaporan keuangan khususnya berkaitan dengan pengakuan dan pengukuran, serta berkaitan dengan konsolidasi dan pelaporan. Salah satu perubahan pengakuan dan pengukuran yang utama adalah semakin luasnya penggunaan prinsip nilai wajar (fair value) dibandingkan dengan biaya historis. Nilai wajar adalah harga yang akan diterima atas penjualan suatu aset atau harga yang akan dibayar atas pengalihan liabilitas (kewajiban) dalam suatu transaksi antar partisipan pasar pada saat tanggal pengukuran. Jadi, konsep nilai wajar menitikberatkan pada arus kas kini dan arus kas yang diekspektasikan. Konsep nilai wajar tidak menekankan pada harga beli historis. Misalnya, amortisasi goodwill dievaluasi setiap periode berdasarkan arus kas yang didiskontokan (discounted cash flows).
Adopsi IFRS akan berdampak pada perubahan pelaporan keuangan. Perusahaan-perusahaan di Indonesia akan mengubah format laporan keuangannya, dan investor akan melihat perubahan tersebut. Demikian juga dengan merger dan akuisisi, kebijakan pajak, dan perencanaan keuangan juga akan terpengaruh.
Dengan tambahan margin penjualan listrik subsidi dari lima persen menjadi delapan persen, laba bersih PT PLN tahun 2010 bisa melesat jauh melampaui tahun 2009. Namun meningkatnya beban bunga, berkurangnya untung dari selisih kurs, serta beban lain-lain menyebabkan laba bersih PLN tergerus hingga 2,5%. Jika tahun 2009 laba bersih yang dibukukan sebesar Rp 10,355 triliun, laba tahun 2010 mentok di angka 10,086 triliun.
Toh situasi tersebut, ditambah iklim kerja yang berkembang makin baik, telah memacu seluruh jajaran PLN untuk bekerja makin keras dan profesional. Maka wajar saja jika kemudian Dahlan Iskan memanfaatkan momentum itu untuk mengubah tagline PT PLN. Semula tagline yang sudah dipakai bertahun-tahun adalah Electricity for a Better life, Listrik untuk Kehidupan yang Lebih Baik. Dahlan menggantinya dengan semboyan baru Bekerja Bekerja Bekerja!
Slogan yang digagas Dahlan tersebut mampu meneguhkan fokus pada orientasi perusahaan, bahwa tugas utama sebagai korporasi adalah bekerja untuk melayani.
Di tengah semangat tinggi seluruh jajaran PLN untuk unjuk kerja itulah Dahlan Iskan harus pergi. Maka ketika para calon menteri menebar senyum setelah dipanggil Presiden, Pak Dis ?begitu ia suka dipanggil, akronim dari Dahlan Iskan- justru menangis. “Saya menangis karena harus meninggalkan teman-teman di PLN yang sedang semangat-semangatnya bekerja,” ucapnya.
Harapan Presiden, juga publik dan stakeholders BUMN, agar semangat serupa bisa ditularkan kepada BUMN yang lain. Dahlan tidak mengusung slogan dan konsep besar yang hanya menarik di meja diskusi. Dia mengajak semua orang untuk menyederhanakan persoalan dan bekerja untuk mengatasinya
DAMPAK IMPLEMENTASI IFRS BAGI PERUSAHAAN
Perusahaan menyusun laporan keuangan berdasarkan standar akuntansi agar dapat menghasilkan laporan keuangan yang relevan dan andal. Standar akuntansi menetapkan aturan pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan dalam laporan keuangan sehingga memungkinkan pembaca untuk dapat membandingkan laporan keuangan antar perusahaan yang berbeda. Standar tidak hanya harus dipahami pihak yang menyusun dan mengaudit laporan keuangan, namun juga harus dipahami oleh pembaca laporan keuangan. Pembaca perlu memahami asumsi dasar, karakteristik laporan keuangan agar dapat memahami makna angka-angka dan pengungkapan dalam laporan keuangan.
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) merupakan standar yang digunakan untuk menyusun laporan keuangan perusahaan yang memiliki akuntabilitas publik signifikan. BUMN termasuk perusahaan yang memiliki akuntabilitas publik signifikan karena laporannya diberikan kepada masyarakat. Untuk BUMN yang memiliki transaksi syariah juga harus menggunakan PSAK Syariah untuk melaporkan transaksi tersebut.
PSAK saat ini sedang dalam proses mengadopsi penuh IFRS (International Financial Reporting Standard) dengan target 2012 proses adopsi akan selesai.  Sebenarnya PSAK sejak 1994 disusun dengan menggunakan referensi utama International Accounting Standard. Namun dalam PSAK tidak menyebutkan secara eksplisit jika standar tersebut mengadopsi PSAK.  Dalam perkembangannya setelah 1994, PSAK juga menggunakan referensi lain.  Ada beberapa PSAK khusus industri disusun untuk digunakan dalam menyusun laporan keuangan perusahaan dalam industri tersebut padahal dalam IAS/IFRS, standar tersebut tidak ada.


sumber : www.google.com

Selasa, 09 Oktober 2012

Etika


Sebagai makhluk sosial kita tidak bisa lepas tanpa kehadiran orang lain setiap tindakan kita sekecil apa pun pasti butuh bantuan orang lain contohnya saat kita tersenyum kita tak bisa tersenyum tanpa bantuan orang lain kita bisa saja tersenym sendiri tapi jangan salahkan orang lain bila di anggap kita gila.Dalam kehidupan bermasarakat kita bergaul dengan berbagai pribadi yang berbeda dari bermacam suku agama dan keyakinan dan semua itu kita butuh etika atau aturan dalam pergaulan sehari.
*Etika Berbicara
1. Hendaknya pembicaran selalu di dalam kebaikan

2. Hendaknya pembicaran dengan suara yang dapat didengar, tidak terlalu keras, dan tidak pula terlalu rendah, ungkapannya jelas dapat difahami oleh semua orang dan tidak dibuat-buat atau dipaksa-paksakan.
3. Jangan membicarakan sesuatu yang tidak berguna bagimu
4. Menghindari perdebatan dan saling membantah, sekalipun kamu berada di fihak yang benar dan menjauhi perkataan dusta sekalipun bercanda.
5. Tenang dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa
6. Menghindari sikap memaksakan diri dan banyak bicara di dalam berbicara
*Etika bercanda
1. Hendaknya percandaan tidak mengandung nama Allah
2. Hendaknya percandaan itu adalah benar tidak mengandung dusta
3. Hendaknya percandaan tidak mengandung unsur menyakiti perasaan salah seorang di antara manusia.
4. Bercanda tidak boleh dilakukan terhadap orang yang lebih tua darimu, atau terhadap orang yang tidak bisa bercanda atau tidak dapat menerimanya

*Etika bergaul dengan orang lain
1. Hormati perasaan orang lain, tidak mencoba menghina atau menilai mereka cacat.
2. Jaga dan perhatikanlah kondisi orang, kenalilah karakter dan akhlaq mereka, lalu pergaulilah mereka, masing-masing menurut apa yang sepantasnya.
3. Dengarkanlah pembicaraan mereka dan hindarilah perdebatan dan bantah-membantah dengan mereka.

*Etika bertetangga
1. Menghormati tetangga dan berprilaku baik terhadap mereka
2. Bangunan yang kita bangun jangan mengganggu tetangga kita, tidak membuat mereka tertutup dari sinar matahari atau udara, dan kita tidak boleh melampaui batasnya, apakah merusak atau mengubah miliknya, karena hal tersebut menyakiti perasaannya.
3. Tidak melakukan suatu kegaduhan yang mengganggu mereka, seperti suara radio atau TV, atau mengganggu mereka dengan melempari halaman mereka dengan kotoran, atau menutup jalan bagi merek
4.  Hendaknya kita turut bersuka cita di dalam kebahagiaan mereka dan berduka cita di dalam duka mereka; kita jenguk bila ia sakit, kita tanyakan apabila ia tidak ada, bersikap baik bila menjumpainya; dan hendaknya kita undang untuk datang ke rumah
5. Hendaknya kita sabar atas prilaku kurang baik mereka terhadap kita


*Etika Mahasiswa Dalam Berbusana
1. Busana sangat mencerminkan sikap dan tingkah laku baik buruknya seseorang. Etika dalam berbusana sangat penting dan vital bagi mahasiswa baik di lingkungan kampus maupun luar kampus.

2.  Busana yang dikenakan mahasiswa sebaiknya sewajarnya yang kita pakai . tidak terlalu mencolok bagi wanita .